Breaking News

Suriah: Warga Ma’arrat Nu’man Idlib Desak Sekolah Segera Diperbaiki

Menjelang tahun ajaran 2025-2026, keresahan kembali menyeruak di pedesaan sekitar Ma’arrat Nu’man, sebuah kota penting di provinsi Idlib, Suriah. Para orang tua khawatir anak-anak mereka terancam kehilangan kesempatan belajar akibat kondisi sekolah yang rusak berat. Mereka menegaskan, tanpa rehabilitasi pendidikan, masa depan generasi muda akan semakin gelap.

Ma’arrat Nu’man bukan sekadar kota kecil. Sejak masa silam, kota ini dikenal sebagai pusat perdagangan dan budaya di wilayah utara Suriah. Pada era Perang Salib, kota ini menjadi medan pertempuran sengit antara pasukan Muslim dan tentara salib, bahkan tercatat dalam banyak catatan kronik abad pertengahan. Jejak sejarah panjang itu kini kontras dengan kondisi kota yang porak-poranda akibat perang modern.

Kota ini sempat lama berada di bawah kendali rezim Bashar Al Assad, hingga akhirnya pada pertengahan 2012 pasukan oposisi berhasil membebaskannya. Sejak saat itu, Ma’arrat Nu’man menjadi salah satu simbol perlawanan di Idlib. Namun kebebasan dari rezim tidak serta-merta membawa kemakmuran. Infrastruktur yang hancur, termasuk sekolah-sekolah, menjadi warisan pahit bagi penduduknya. Tahun 2020, kota ini direbut kembali oleh rejim Assad dan fasilaitas kota tak pernah diperbaiki, bahkan penjarahan kusen dan furniture jadi marak, sebelum akhirnya pergantian kekuasaan di Damaskus yang kini di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa.

Kini, orang tua di pedesaan sekitar Ma’arrat Nu’man menyampaikan kekhawatiran serupa. Mereka mengaku cemas jika anak-anak terpaksa tinggal di rumah tanpa pendidikan. Kondisi di kamp pengungsian malah lebih baik karena fasilitas pendidikan lengkap dan mendapat jadup 60 dolar AS per kepala. Sementara yang terlanjur pulang ke kampung halaman harus menempuh perjalanan sejauh lima hingga enam kilometer untuk mencapai sekolah terdekat.

Kondisi ini membuat banyak keluarga ragu untuk kembali ke desa mereka dari pengungsian. Mereka menegaskan bahwa keputusan untuk kembali hanya mungkin dilakukan jika sekolah-sekolah diperbaiki dan kembali berfungsi. Tanpa itu, kehidupan di desa sulit dibayangkan, apalagi dengan anak-anak yang membutuhkan pendidikan formal.

Bagi para orang tua, pendidikan bukan sekadar rutinitas, melainkan kunci masa depan. Mereka berharap anak-anak mereka kelak menjadi dokter, insinyur, atau tokoh masyarakat yang mampu membangun kembali Suriah modern. Tanpa pendidikan, anak-anak hanya akan terjebak dalam pekerjaan kasar dan kehilangan peluang masa depan yang lebih baik.

Kerusakan sekolah di Ma’arrat Nu’man sangat nyata. Banyak bangunan yang sudah tidak layak pakai, dengan atap runtuh, jendela pecah, dan perabot sekolah yang hancur. Hal ini membuat para guru kesulitan mengajar dan anak-anak pun kehilangan semangat belajar.

Namun ada secercah harapan. Direktorat Pendidikan dan sejumlah administrasi lokal mulai bergerak untuk memperbaiki kondisi ini. Sekitar 70 sekolah di wilayah Idlib, termasuk sebagian di sekitar Ma’arrat Nu’man, telah berhasil diaktifkan kembali. Jumlah itu diharapkan bertambah hingga 150 sekolah menjelang tahun ajaran baru.

Pemerintahan Al Sharaa tidak menerapkan kembali wajib militer atas desakan sebagian rakyat. Akibatnya, tenaga yang seharusnya bisa membantu rehab kecil menjadi berkurang. Padahal jika wajib militer ada, sebagian tentara bisa membantu pembangunan.

Selain itu, banyak guru dan pegawai bekum kembali ke posisi masing-masing. Jika ada tentu pembersihan gotong-royong bisa dilakukan sebagaimana di pengungsian.

Apalagi kebutuhan masih jauh lebih besar. Banyak desa di sekitar kota ini belum tersentuh program rehabilitasi. Warga berharap perhatian lebih luas dari pemerintah daerah dan lembaga internasional agar semua anak bisa kembali ke ruang kelas.

Seorang ayah di desa dekat Ma’arrat Nu’man menegaskan, anak-anak adalah aset terbesar bangsa. Ia mengingatkan bahwa sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi juga ruang untuk membangun karakter dan solidaritas, sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pascaperang.

Sejarah panjang Ma’arrat Nu’man menjadi pengingat bahwa kota ini selalu menjadi arena perjuangan. Dari masa Perang Salib hingga konflik modern, masyarakatnya berulang kali bangkit dari keterpurukan. Kini, tantangan mereka adalah memastikan anak-anak tidak kehilangan hak pendidikan.

Direktorat Pendidikan mengakui adanya keterlambatan rehabilitasi, tetapi berjanji mempercepat langkah. Mereka menyebut bahwa upaya penyediaan fasilitas belajar, termasuk meja, kursi, dan papan tulis, akan segera dituntaskan.

Bagi warga, janji itu harus diwujudkan dengan tindakan nyata. Mereka menegaskan bahwa bel sekolah harus benar-benar berbunyi pada waktunya, bukan sekadar dijanjikan.

Upaya swadaya juga muncul di beberapa desa. Warga bergotong royong memperbaiki kelas dengan sumber daya seadanya. Meskipun terbatas, langkah ini menunjukkan besarnya tekad mempertahankan pendidikan di tengah kesulitan.

Tetapi swadaya tidak cukup. Dukungan dari organisasi kemanusiaan internasional sangat dibutuhkan agar rehabilitasi bisa merata dan cepat. Bagi anak-anak, setiap hari tanpa sekolah adalah kerugian besar yang sulit ditebus.

Suara anak-anak dalam video yang beredar pun menyentuh hati. Mereka hanya ingin kembali duduk di bangku sekolah, membaca buku, dan bermain bersama teman sebaya dalam lingkungan yang aman.

Harapan sederhana itu kini menjadi simbol perjuangan baru Ma’arrat Nu’man. Dari kota yang pernah menjadi saksi perang berabad-abad lalu, muncul lagi harapan baru untuk membangun generasi berpendidikan.

Kini, warga menanti apakah janji rehabilitasi benar-benar terwujud sebelum tahun ajaran baru dimulai. Jika sekolah siap, mereka akan kembali ke desa. Jika tidak, eksodus ke kamp pengungsian bisa saja terulang.

Masa depan Idlib, termasuk Ma’arrat Nu’man, kini bergantung pada sejauh mana komitmen terhadap pendidikan diwujudkan. Pendidikan bukan hanya hak anak, melainkan juga jalan untuk membangun kembali Suriah yang hancur oleh perang.

Ma’arrat Nu’man adalah kota strategis di Provinsi Idlib, Suriah bagian utara. Lokasinya berada di jalur M5 yang menghubungkan Aleppo-Damaskus, sehingga sangat penting secara militer dan logistik. 

Sejak mulai perang sipil Suriah (2011), kota ini sempat lepas dari kendali pemerintah (rezim Assad), menjadi pusat aktivitas oposisi dan pengungsi internal. Kota ini juga menjadi sasaran operasi udara dan darat yang dibantu Rusia dan milisi Iran, sehingga infrastruktur—termasuk sekolah—mengalami kerusakan berat.

Pada gelombang ofensif “Northwestern Syria offensive (2019-2020)”, tentara Suriah (SAA) bersama sekutu berhasil melakukan serangan besar ke arah Ma’arrat Nu’man. 

Tanggal 28 Januari 2020 adalah momen penting: pasukan rezim merebut kembali Ma’arrat Nu’man. 

Setelah direbut kembali, pemerintah rezim mencoba melakukan konsolidasi keamanan dan kontrol administratif di kota tersebut. Namun pulihnya fasilitas publik, terutama sekolah, berlangsung lambat dan penuh tantangan.

Salah satu isu besar setelah pendudukan kembali adalah banyak sekolah yang telah diambil alih oleh militer rezim. Sebagai contoh, bangunan sekolah “Abdul Fattah Qazziz School” di Ma’arrat Nu’man dijadikan markas militer oleh pasukan rezim setelah mereka menguasai kota. 

Pengubahan sekolah menjadi fasilitas militer seperti markas, logistik, atau tempat berkumpul pasukan membuat sekolah tersebut tidak bisa digunakan untuk kegiatan pendidikan. Bahkan perabot dan material sekolah dilucuti atau dirusak. 

Sekolah‐sekolah yang masih utuh sering kali berada dalam kondisi non optimal: atap bocor, jendela pecah, fasilitas sanitasi buruk, kekurangan guru, dan peralatan belajar yang minim. Perbaikan memerlukan dana besar, logistik sulit karena keamanan tidak selalu stabil, serta akses yang terbatas ke beberapa wilayah pedesaan.

Saat ini, meskipun pemerintahan baru Damaskus sudah berdiri, adaptasi kembali fasilitas pendidikan masih sangat terbatas. Banyak sekolah belum dibuka kembali atau bila dibuka, hanya menerima sebagian jenjang pendidikan (misalnya hanya sekolah dasar), karena masih banyak kerusakan.

Warga lokal menyebut bahwa banyak keluarga yang merasa enggan kembali ke desa asal dari kamp pengungsian, kecuali sekolah-sekolah tersebut benar-benar direhabilitasi dan kondisi pendukung (air bersih, keamanan, akses transportasi) dipulihkan.

Dalam beberapa laporan, organisasi HAM dan pendidikan menyebut bahwa konversi sekolah menjadi markas militer bukan hanya satu atau dua kasus, melainkan bagian dari pola pemanfaatan kembali aset publik pendidikan oleh aparat keamanan rezim. 

Selain kerusakan fisik, dampak psikologis terhadap siswa juga besar. Anak-anak yang selama konflik berhenti sekolah atau pindah kamp pengungsian menghadapi kesenjangan besar dalam pembelajaran.

Keterbatasan anggaran pemerintah pusat dan lokal, serta sanksi internasional, membuat bantuan pembangunan infrastruktur menjadi terhambat.

Meski banyak tantangan, ada usaha kecil-kecilan dari warga dan lembaga lokal untuk merehabilitasi kelas secara swadaya. Misalnya memperbaiki dinding, kursi, atau atap menggunakan dana dari pengungsi ataupun bantuan lokal.

Namun usaha swadaya tidak bisa mengangkat keseluruhan kebutuhan. Banyak sekolah di desa kecil belum tersentuh sama sekali, dan ada kebutuhan mendesak akan dukungan keuangan, tenaga guru, dan legalitas agar sekolah yang dibangun kembali benar-benar diakui secara administratif.

Pemerintah baru menjelaskan bahwa beberapa sekolah akan dibuka kembali dan direhabilitasi, tetapi pelaksanaannya sering kali lambat dan tidak merata. Banyak orang tua tetap ragu apakah janji tersebut akan direalisasikan.

Anak-anak yang tinggal di Ma’arrat Nu’man dan desa di sekitarnya ingin kembali ke rutinitas sekolah dengan aman, jarak yang wajar, fasilitas yang memadai, dan lingkungan yang stabil.

Kini masa depan pendidikan di Ma’arrat Nu’man sangat tergantung pada konsistensi rehabilitasi sekolah dan kapan akses normal ke pendidikan bisa dipulihkan sepenuhnya.

Jika sekolah-sekolah tidak cepat diperbaiki, potensi besar generasi muda Suriah di wilayah ini tetap terancam hilang peluangnya.

Tidak ada komentar