Breaking News

Yaman Selatan Bakal Senasib Kurdistan Irak?


Yaman Selatan kini berada di persimpangan kritis sejarahnya. Dewan Transisi Selatan (STC) secara terbuka bergerak menuju agenda kemerdekaan, sementara pemerintah resmi Yaman (PLC) tetap menegaskan legitimasi nasional di wilayah yang sama. Kondisi ini mengingatkan pada pengalaman Kurdistan di Irak, yang pernah menggelar referendum merdeka namun tetap berada dalam kerangka Irak.

Kekhawatiran utama muncul dari kemungkinan terjadinya kebuntuan politik dan administratif. Seperti halnya Baghdad yang tidak mengakui kemerdekaan Kurdistan, PLC tetap menguasai institusi formal negara seperti istana kepresidenan, parlemen, dan kementerian. Dengan demikian, meskipun STC mendeklarasikan diri sebagai negara baru, struktur resmi Yaman tetap berada di tangan PLC.

Proklamasi kemerdekaan oleh STC akan memperkuat kendali de facto mereka atas wilayah Selatan, termasuk Aden, Hadramaut, dan Mahra. Namun, hal itu tidak mengubah legitimasi internasional yang tetap diberikan kepada PLC, sehingga menimbulkan situasi paralel yang kompleks.

Dalam aspek militer, STC telah membangun kekuatan signifikan yang menguasai wilayah selatan, tetapi PLC masih mempertahankan simbol otoritas nasional. Kondisi ini menciptakan dualitas kekuasaan, di mana satu wilayah dikendalikan oleh de facto STC, sementara de jure tetap berada di bawah PLC.

Seperti Kurdistan, masalah terbesar adalah kontrol anggaran dan sumber daya. STC yang menguasai ladang minyak, pelabuhan, dan sumber daya lokal akan cenderung mengelola sendiri pendapatan wilayahnya. Sementara itu, PLC yang tetap diakui secara internasional harus mengatur distribusi anggaran nasional, sehingga muncul potensi konflik dalam pembagian APBN.

Ketegangan ini bisa menimbulkan deviasi anggaran, di mana STC mengalokasikan dana untuk pembangunan infrastruktur, keamanan, dan birokrasi sendiri, sedangkan PLC berusaha menyalurkan anggaran resmi ke wilayah yang sama. Efeknya mirip dengan pengalaman Kurdistan, di mana Baghdad dan Erbil berselisih mengenai pembagian anggaran federal.

Secara politik, situasi ini akan memperkuat identitas Selatan. Bendera, lagu kebangsaan, dan simbol-simbol sejarah akan diperkuat, menciptakan perbedaan simbolik yang menegaskan aspirasi kemerdekaan. Namun identitas ini tetap berada dalam ketegangan legal dan diplomatik dengan pemerintah pusat.

Dampak sosial juga signifikan. Masyarakat Selatan akan menghadapi dilema loyalitas: mendukung STC yang menguasai wilayah secara nyata, atau PLC yang secara formal diakui oleh komunitas internasional. Polarisasi ini bisa memicu konflik internal jika tidak dikelola dengan hati-hati.

Secara diplomatik, negara-negara besar kemungkinan akan mengakui status de jure PLC, sementara dukungan terhadap STC bersifat pragmatis dan terbatas. Arab Saudi, misalnya, akan menekankan pentingnya Yaman bersatu secara nominal, meski STC memiliki kendali de facto.

UAE mungkin memberikan dukungan politik atau ekonomi kepada STC, tetapi tetap berhati-hati agar tidak memicu ketegangan langsung dengan Saudi. Hal ini menciptakan ketergantungan diplomatik yang membatasi ruang manuver STC untuk mendeklarasikan kemerdekaan sepenuhnya.

Dalam aspek militer, risiko bentrokan terbuka tetap ada. STC harus menyeimbangkan antara konsolidasi wilayah dengan kemungkinan serangan dari kelompok pro-PLC atau suku yang menolak dominasi STC. Sementara itu, Houthi di utara tetap menjadi ancaman strategis yang bisa memanfaatkan konflik internal Selatan.

Ketidakpastian ini juga berdampak pada ekonomi lokal. Investasi asing akan menunggu kepastian politik dan legalitas, sementara STC mungkin mengelola pendapatan lokal secara independen. Ladang minyak, pelabuhan, dan perdagangan menjadi titik utama perbedaan kontrol ekonomi.

Efek jangka panjang dari dualisme ini bisa berupa fragmentasi administratif, di mana kementerian lokal dan birokrasi bekerja secara paralel: satu set loyal pada STC, satu set lagi pada PLC. Mekanisme koordinasi akan sulit, terutama jika ada proyek pembangunan atau distribusi bantuan internasional.

Model Kurdistan menunjukkan bahwa referendum atau deklarasi kemerdekaan tidak otomatis menghasilkan pengakuan internasional. Hal serupa berlaku di Yaman Selatan, di mana STC bisa menjalankan kekuasaan de facto, tetapi PLC tetap diakui secara formal di forum internasional.

Konsekuensinya, kedua entitas—STC dan PLC—harus menemukan mekanisme pembagian kekuasaan, meski secara nyata mereka berada dalam posisi yang saling bertentangan. Tanpa kesepakatan, potensi konflik internal, tumpang tindih birokrasi, dan ketegangan sosial akan meningkat.

Di sisi lain, STC memiliki keuntungan kontrol lapangan, sementara PLC memiliki legitimasi formal. Keseimbangan ini mirip dengan Erbil dan Baghdad, di mana pemerintah federal memiliki legitimasi hukum, tetapi pemerintah regional memiliki kendali operasional atas wilayahnya.

Peran suku dan milisi lokal juga akan menentukan dinamika politik. Hadramaut, Mahra, dan Aden memiliki struktur suku yang kuat, dan dukungan atau penolakan mereka terhadap STC akan memengaruhi stabilitas wilayah Selatan.

Jika kedua pihak gagal bernegosiasi, Yaman Selatan bisa mengalami permanen de facto independen, tetapi secara hukum tetap menjadi bagian Yaman bersatu. Ini menciptakan situasi kontradiktif: pemerintahan paralel, dualisme hukum, dan potensi sengketa sumber daya.

Dampak regional juga akan terasa. Saudi akan menekan agar tetap ada nominal persatuan, sementara Houthi bisa memanfaatkan situasi untuk memperkuat posisi mereka di utara dan timur. Negara tetangga lain akan memantau perkembangan untuk melindungi kepentingan mereka.

Secara keseluruhan, aspirasi STC untuk kemerdekaan penuh menimbulkan potensi konflik internal, ketegangan diplomatik, dan fragmentasi ekonomi. Model Kurdistan Irak menunjukkan bahwa deklarasi kemerdekaan saja tidak cukup; dukungan internasional dan kesepakatan internal sangat menentukan keberlanjutan entitas baru.

Yaman Selatan, jika mengikuti jejak Kurdistan, kemungkinan akan menjalani periode dualisme panjang: kontrol de facto oleh STC dan legitimasi formal oleh PLC, dengan implikasi signifikan pada anggaran, administrasi, dan stabilitas sosial.

Kondisi ini menegaskan bahwa proklamasi kemerdekaan STC bukan sekadar simbol politik, tetapi awal dari dinamika kompleks yang bisa membentuk wajah Yaman Selatan selama dekade mendatang.

Tidak ada komentar