Suriah Terkini: Homs Bangkit, Masjid Kembali Penuh Jamaah
Homs, kota yang sempat hancur akibat konflik berkepanjangan di Suriah, kini mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan kembali. Masjid-masjid yang dulu sepi dan rusak perlahan diperbaiki, bahkan beberapa di antaranya sudah kembali dipenuhi jamaah saat waktu salat. Suasana yang dulu hilang kini pelan-pelan hadir lagi, menghidupkan denyut kehidupan masyarakat kota tersebut.
Dua tahun lalu, Homs menjadi sorotan karena disebut sebagai target perubahan demografi yang dilakukan oleh milisi-milisi pro-Iran. Video yang sempat beredar menunjukkan kota itu berubah wajah, dari yang dulunya identik dengan budaya Arab, menjadi kental dengan simbol-simbol asing. Warga kala itu merasa kehilangan jati diri kotanya.
Namun situasi terbaru memperlihatkan adanya pembalikan arah. Warga mulai kembali memenuhi jalan-jalan Homs, pasar yang dulu mati suri kini kembali ramai, dan masjid-masjid yang sempat dikuasai keheningan kini penuh dengan lantunan doa. Kehidupan perlahan bergerak menuju suasana normal seperti sebelum konflik.
Video yang dipublikasikan oleh Syria TV pada Januari 2023 dengan judul “Homs seperti yang belum pernah Anda lihat sebelumnya.. Iran mengubah kota itu menjadi Husseiniyah besar” sempat memicu kontroversi. Rekaman itu menggambarkan kota yang seolah kehilangan identitas Arabnya, digantikan oleh pengaruh milisi asing.
Narasi dalam video tersebut memperlihatkan kamera rahasia yang masuk ke Homs dan menemukan banyak tulisan berbahasa Persia, lambang-lambang Syiah, hingga ritual Husseiniyah yang dominan. Bagi sebagian besar warga, hal itu menjadi tanda bahwa Homs dipaksa melepaskan sejarah panjangnya sebagai kota Arab.
Warga saat itu juga merasa terasing di tanah kelahiran mereka sendiri. Banyak yang mengungsi, sebagian lainnya memilih bertahan meski di bawah tekanan. Namun rasa kehilangan itu tidak berlangsung selamanya, karena kini ada tanda-tanda perlawanan kultural dengan bangkitnya kembali simbol-simbol Arab, salah satunya melalui perbaikan masjid.
Perubahan dua tahun terakhir menunjukkan dinamika berbeda. Masjid-masjid di Bab Amr, Bab Sbaa, Al-Khalidiyah, hingga Al-Waer mulai dipugar dan kembali berfungsi. Jamaah kembali memenuhi ruang salat, seolah menegaskan bahwa identitas Arab-Islam di Homs belum sepenuhnya padam.
Homs, yang dulu dikenal sebagai “ibu kota revolusi Suriah,” memang punya catatan panjang sebagai kota yang keras menolak dominasi asing. Semangat itu masih terlihat hingga sekarang, meski perang meninggalkan luka mendalam.
Lingkungan yang porak-poranda kini sedang bertransformasi. Warga bergotong royong membersihkan puing-puing, memperbaiki rumah ibadah, dan menghidupkan kembali pasar tradisional. Kehidupan sosial perlahan pulih, ditandai dengan meningkatnya kegiatan keagamaan dan budaya.
Dalam suasana Jumat, misalnya, masjid-masjid penuh hingga halaman. Lantunan azan yang menggema menjadi penanda kuat bahwa Homs menolak mati, dan justru bangkit dari reruntuhan. Pemandangan ini kontras dengan dua tahun lalu saat masjid-masjid sepi karena rasa takut dan keterasingan.
Meski pengaruh Iran pernah begitu kuat, realitas hari ini menunjukkan bahwa warga Homs tidak menyerah pada tekanan. Mereka tetap mempertahankan tradisi dan keyakinan mereka, bahkan dengan cara sederhana seperti memakmurkan masjid.
Kebangkitan ini memberi sinyal penting bahwa perubahan demografi yang pernah direncanakan tidak sepenuhnya berhasil. Identitas Arab kota Homs justru kembali menguat dengan kembalinya warga ke ruang-ruang publik yang bernafaskan budaya asli mereka.
Sejumlah pengamat menilai, perbaikan masjid bukan sekadar soal ibadah, melainkan bentuk perlawanan simbolis. Dengan menghidupkan masjid, warga sekaligus menghidupkan kembali memori kota sebagai pusat Islam Sunni di Suriah.
Tak bisa dipungkiri, jalan menuju pemulihan masih panjang. Banyak bangunan yang rusak berat, ekonomi belum sepenuhnya pulih, dan trauma sosial masih membekas. Namun kebangkitan Homs dari sektor keagamaan menjadi penanda bahwa harapan tetap ada.
Warga kini semakin yakin bahwa kota mereka bisa kembali seperti dulu. Mereka melihat kehadiran jamaah di masjid sebagai pertanda awal, sebuah titik terang setelah bertahun-tahun dalam kegelapan.
Lingkungan yang dulu menangisi kehancuran kini mulai tersenyum. Anak-anak kembali bersekolah, keluarga berkumpul di pasar, dan azan kembali terdengar dari menara-menara masjid yang sempat bisu.
Kebangkitan ini juga membantah anggapan bahwa Homs sudah “kalah” oleh milisi asing. Justru sebaliknya, kota ini menunjukkan bahwa meski revolusi tidak sepenuhnya menang, semangat perlawanan tetap hidup.
Dalam ingatan kolektif warga, Homs adalah kota Arab yang tidak mudah dikalahkan. Kini, sejarah itu terus berlanjut melalui langkah kecil namun berarti: memperbaiki masjid dan memenuhinya dengan jamaah.
Dengan kebersamaan dan keyakinan, Homs perlahan kembali menemukan dirinya. Dari masjid yang diperbaiki hingga doa yang kembali bergema, kota ini menegaskan bahwa harapan selalu lebih kuat dari kehancuran.
Warga percaya, kebangkitan Homs bukan hanya milik mereka, tetapi juga simbol bagi seluruh Suriah bahwa masa depan tetap bisa diperjuangkan, meski jalan menuju ke sana penuh luka dan pengorbanan.
Homs dalam sejarah (dari artikel 2011)
Warga Homs, yang saat ini terkepung tank, mengenang pengepungan serupa yang dialami kota mereka sekitar 750 tahun lalu, ketika Hulagu datang dengan 120 ribu tentara Mongol setelah mengepung Aleppo dan kota-kota tetangga selama dua tahun menggunakan senjata yang kala itu setara tank, yakni ketapel raksasa. Ia kemudian menduduki Aleppo dan melakukan kekejaman yang belum pernah disaksikan.
Kabar kebrutalannya dengan cepat menyebar ke Homs, sekitar 193 km jauhnya. Warga kebingungan menghadapi cucu Jenghis Khan itu. Mereka akhirnya menggunakan tipu daya untuk menyelamatkan diri. Mereka melumuri wajah dan tubuh dengan pewarna merah hingga terlihat seperti penderita kusta, merobek pakaian, dan berpura-pura gila sambil berkeliling kota dengan genderang, tawa, tangis, dan ocehan aneh.
Ketika Hulagu masuk Homs pada hari Rabu dan melihat sebagian warga, ia memerintahkan tentaranya mundur, mengira mereka benar-benar gila dan terjangkit kusta berbahaya. Hulagu berteriak sambil memerintahkan pasukan mundur: “Majazim.. Majazim!” (orang gila). Kata itu kemudian berubah menjadi majazib lalu majadeeb, hingga akhirnya melekat pada orang Homs sebagai sebutan orang tolol atau konyol, khususnya di hari Rabu. Seperti kisah-kisah tentang Juha, Homs dan warganya kerap jadi bahan anekdot lucu, meski kenyataannya jauh berbeda.
Di Tepi Sungainya, Mereka Mengalahkan Ramses II
Kisah ini tentu tidak nyata, namun diciptakan untuk menjelaskan asal-usul stereotip tentang warga Homs. Padahal, sejarah menunjukkan Homs penuh keberanian dan perlawanan. Seperti halnya daerah Al-Houta di Saudi yang rakyatnya dikenal pemberani, Homs memiliki sejarah panjang menghadapi penakluk besar: Firaun, Yunani, Romawi, Bizantium, Persia, dan lainnya.
Nama sungai yang melintasi kota ini, Al-Asi (sungai pemberontak), melambangkan semangat perlawanan itu. Sungai ini satu-satunya di Timur Tengah yang mengalir dari selatan ke utara, dari Lebanon menuju Hama, Homs, hingga Antakya lalu bermuara di Mediterania.
Sekitar 3285 tahun lalu, Ramses II mencoba menaklukkan Suriah (Bilad al-Sham). Ia berhasil hingga mencapai Homs, namun di tepi Sungai Asi terjadilah Pertempuran Kadesh, pertempuran kereta perang terbesar dalam sejarah dengan lebih dari 5 ribu kereta. Ramses kalah, dan Homs tetap merdeka.
Dari “Emes” Yunani Asal Nama Homs
Setelah Ramses, Alexander Agung datang tahun 331 SM. Ia hanya bisa masuk Homs lewat kesepakatan damai dengan warganya. Setelah kematiannya, lahirlah Kekaisaran Seleukia yang membawa budaya Yunani ke wilayah itu. Sejarawan Yunani Strabo menulis tentang “Emesani” atau penduduk Emesa (nama kuno Homs), yang memiliki kerajaan independen dan bahkan berpengaruh di Roma.
Kerajaan Emesa kemudian bersekutu dengan Romawi untuk mempertahankan otonominya. Dari Homs lahir lima kaisar Romawi, termasuk ibu dari Kaisar Caracalla yang berasal dari kota ini. Homs juga dikenal sebagai pusat penyembahan dewa matahari. Nama “Emesa” berarti “tempat ibadah matahari”, yang kemudian berubah menjadi “Emes”, lalu terarabkan menjadi Homs.
Saat Abu Ubaidah bin Jarrah Datang
Pada tahun 540, Homs diserbu Persia di bawah Khosrow Anushirwan, lalu kembali pada 611–614 oleh Shahrbaraz. Namun tiga tahun setelahnya, pasukan Muslim tiba setelah kemenangan di Ajnadain. Abu Ubaidah bin Jarrah sempat mundur ke Palestina untuk ikut dalam Pertempuran Yarmuk, lalu kembali dan membuka Homs.
Awalnya warga Homs sepakat membayar jizyah tahunan sebesar 71 ribu dinar, tetapi mereka melanggarnya atas hasutan Kaisar Heraclius. Abu Ubaidah pun kembali bersama Khalid bin Walid, yang kemudian menetap di dekat Homs hingga wafat. Makam dan masjid Khalid bin Walid kini menjadi salah satu ikon kota.
Di Homs, Hulagu Akhirnya Menelan Kekalahan
Lebih dari 500 sahabat Nabi SAW pernah singgah dan tinggal di Homs. Banyak makam mereka masih ada di kota dan desa sekitarnya, termasuk makam Khalid bin Walid, putranya Abdurrahman, serta Ubaidullah bin Umar. Di kota ini juga terdapat makam Umar bin Abdul Aziz, Ja’far bin Abi Thalib, Abu Musa al-Ash’ari, Abu Dzar al-Ghifari, Abdurrahman bin Auf, Rabi’ah al-Adawiyah, dan lainnya.
Geografer Ya’qubi menggambarkan Homs sebagai salah satu kota terbesar di Suriah dengan tanah yang subur, sementara Al-Mas’udi menyebutnya indah dan warganya menawan. Hulagu sempat ingin menghancurkan Homs setelah menguasai Aleppo dan Damaskus, namun ia justru merasakan kekalahan pahit ketika mencoba menaklukkannya.
Pada masa Ottoman, Homs juga melawan kebijakan penindasan dan turkifikasi. Tokoh seperti Abdul Hamid al-Zahrawi dieksekusi. Pada masa mandat Prancis sejak 1920, Homs kembali bangkit dalam pemberontakan, menambah daftar panjang perlawanan kota ini.
Humor Homs di Tengah Darah dan Kehancuran
Homs, ibu kota provinsi terbesar Suriah, adalah kota ketiga terbesar setelah Damaskus dan Aleppo, dengan lebih dari 1,2 juta jiwa. Warganya terkenal humoris, dengan banyak kisah jenaka yang menyerupai kisah Juha.
Namun dari kota yang sering jadi bahan candaan ini juga lahir tokoh-tokoh besar: Paus Anicetus dari Vatikan, Permaisuri Romawi Julia Domna, penyair Abbasiyah Diku al-Jinn al-Himsi, hingga tokoh modern seperti penulis Amin al-Jundi, sastrawan mahjar Nasib Arida, pendiri Apple Steve Jobs yang berdarah Homs, akademisi Burhan Ghalioun, musisi Malek Jandali, sejarawan Firas al-Sawah, dan presiden Hashim al-Atassi.
Homs yang dulu penuh tawa kini berselimut duka sejak bangkit melawan rezim Suriah sembilan bulan lalu, setelah kota Daraa. Lebih dari seribu orang tewas, ribuan luka dan ditahan. Kota ini kini menghadapi ancaman serangan tank besar-besaran.
Tidak ada komentar
Posting Komentar